Soimah Gugat, Pajak Gawat?!

Siapa tak kenal Soimah? Pesinden serba bisa yang levelnya sudah artis nasional. Meski menurut pengakuannya, ia risih disebut artis, layaknya para selebritis yang berebut menjadi idola itu. Saya sendiri sangat mengenal sosok Soimah, termasuk perjalanan karirnya yang menakjubkan. Yang menjadi inspirasi banyak seniman muda, terutama yang berlatar belakang seniman tradisional. Ia adalah ShowImah!
Kali ini Soimah menjadi trending bukan lantaran penampilannya menyanyi, nembang atau tampil di acara unjuk wicara di layar kaca. Ia menjadi perbincangan pasca bicara blak-blakan di podcast Blakasuta (blak-blakan) bersama Puthut EA, kepala suku Mojok, dan budayawan kondang Butet Kertaradjasa. Betapa dahsyatnya kombinasi ini. Dan makin dahsyat ketika yang diobrolkan adalah soal pajak. Topik terhangat satu setengah bulan ini.

Satu setengah bulan ini saya pun merenungi takdir, kenapa jatuh dalam kubangan diskusi soal pajak yang jauh dari perspektif yang saya gumuli puluhan tahun. Alih-alih berbincang tentang teori kepatuhan, mencari hubungan rasio pajak dan pertumbuhan ekonomi, atau merancang desain fasilitas yang tepat sasaran baik dunia usaha – percakapan soal pajak jatuh di titik nadir. Soal penyelewengan oleh petugas pajak, berbagai kesaksian buruk tentang pelayanan – termasuk tentang bea cukai – dan tentu saja heboh isu dugaan pencucian uang Rp 349 T yang sangat dramatis namun miskin substansi itu. Setidaknya pro kontra di media sosial yang kerap jatuh pada suka atau tak suka.

Tentu saya tak hendak membela diri, termasuk buta membela institusi. Kami sudah siap dengan konsekuensi terburuk atas nila setitik yang diteteskan di belanga susu. Dicaci, diprotes, dituduh ini itu – adalah santapan sehari-hari. Saya menempatkan ini sebagai kritik di ruang publik demokratis ini. Aspirasi publik, khususnya warganet ini, perlu didengarkan, dicerna, ditimbang, dan dicarikan jalan keluarnya. Bu Sri Mulyani selalu mewanti-wanti ini: rendah hati, tak segan minta maaf, dan terus menjalin silaturahmi dan komunikasi yang baik, hati ke hati.
Kembali ke Soimah. Saya dihantui rasa bersalah dan gelisah. Apa yang akan terjadi jika persediaan pengampunan dari publik kian menipis? Apa yang akan terjadi esok, adakah pelanggaran atau penyimpangan yang akan terungkap? Sebelum meminta maaf secara tergesa, saya kali ini memilih mundur sejenak, tenang meneliti, menggali, dan merekonstruksi. Saya geledah ingatan para pejabat dan pegawai yang pernah terlibat, bertugas di KPP Pratama Bantul. Saya ikut membongkar arsip, catatan, korespondensi, dan berbagai tindakan. Saya coba teliti dan telaten, satu per satu diurai lalu dibangun kembali konstruksi kasusnya.
Ekspresi Soimah sangat lugas. Ia tampak emosional ketika bicara pajak. Kesan saya, ada pengalaman tak mengenakkan yang membekas. Saya bisa memahami. Ia, seperti pengakuannya, hanya seniman yang berusaha bekerja keras lalu meraup penghasilan miliaran. Apa yang salah? Tentu tak ada! Ia pantas marah jika memang diperlakukan tak baik. Ini berlaku buat siapapun karena Undang-undang meletakkan hubungan setara antara petugas pajak dan wajib pajak sebagai pilar penting sistem perpajakan Indonesia.
Sebenarnya saya sudah berniat mencari dan bicara dengan Soimah sejak sebulan lalu, ketika Tik Toknya menyebar. Ucapannya sangat nyelekit, menusuk jantung kesabaran. Lagi-lagi saya tak tersinggung, tapi justru ingin berdialog hati ke hati. Sayang sulit sekali menjangkaunya. Saya mencoba bertanya ke Romo Sindhunata, budayawan yang tinggal di Jogja dan mentor Soimah. Kebetulan saya bersahabat dan cukup dekat dengan Romo Sindhu. Hasilnya nihil, beliau sudah lama tak berinteraksi. Hingga saya bertanya pada kolega, termasuk salah satu petinggi di Emtek, yang membawahi Indosiar.
Akhirnya ada podcast Blakasuta ini. Sebuah dialog yang amat kaya, otentik, renyah. Saya tak ingin mendebat Soimah, karena luka batin itu hanya bisa dibasuh oleh dia sendiri, ketika sanggup berdamai dengan realitas yang kadang tak hitam putih. Layaknya dunia seni. Saya hanya ingin berbagi kepingan fakta dan cerita yang saya kumpulkan dari ingatan, catatan, dan juga administrasi di Kantor Pajak.
Pertama mengenai kisah tahun 2015 ketika Soimah membeli rumah. Mengikuti kesaksiannya di Notaris, patut diduga yang berinteraksi adalah petugas BPN dan Pemda, yang berurusan dengan balik nama dan pajak-pajak terkait BPHTB yang merupakan domain Pemda. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) biasanya hanya memvalidasi. Jika pun ada kegiatan lapangan, itu adalah kegiatan rutin untuk memastikan nilai yang dipakai telah sesuai dengan ketentuan, yaitu harga pasar yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Tentu ini perlu dikonfirmasi ke pengalaman Soimah sendiri. Jika ada yang gebrak meja, jangan-jangan ini pemilik Soto Gebrak Madura yang kita sangka sedang marah, padahal ramah.
Kedua, tentang kedatangan petugas pajak yang membawa debt collector, masuk rumah melakukan pengukuran pendopo, termasuk pengecekan detail bangunan. Itu adalah kegiatan normal yang didasarkan pada surat tugas yang jelas. Memang membangun rumah tanpa kontraktor dengan luas di atas 200 m2 terutang PPN 2% dari total pengeluaran. UU mengatur ini justru untuk memenuhi rasa keadilan dengan konstruksi yang terutang PPN. Petugas pajak bahkan melibatkan penilai profesional agar tak semena-mena. Maka kerjanya pun detail dan lama, tak asal-asalan. Hasilnya, nilai bangunan ditaksir Rp 4,7 M, bukan Rp 50 M seperti diklaim Soimah. Dalam laporannya sendiri Soimah menyatakan pendopo itu nilainya Rp 5 M. Penting dicatat, kesimpulan dan rekomendasi petugas pajak tersebut bahkan belum dilakukan tindak lanjut. Artinya PPN terutang 2% dari Rp 4,7 M itu sama sekali belum ditagihkan.
Kenapa membawa “debt collector”? bagian ini saya belum paham betul, berusaha mengunyah.
Kantor Pajak menurut UU sudah punya debt collector, yaitu Juru Sita Pajak Negara (JSPN). Mereka bekerja dibekali surat tugas dan menjalankan perintah jelas: ada utang pajak yang tertunggak. Soimah sendiri tidak pernah diperiksa kantor pajak dan tercatat tak ada utang pajak, lalu buat apa didatangi sambil membawa debt collector? Bagi JSPN, tak sulit menagih tunggakan pajak tanpa harus marah-marah. Ia bisa menerbitkan Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, memblokir rekening, lalu melelang aset atau memindahkan saldo rekening ke kas negara. Kesaksian semua petugas pajak yang berinteraksi, mereka tak pernah bertemu Soimah. Hanya keluarga atau penjaga rumah. Terakhir dengan konsultan pajak. Patut diduga ini bersumber dari cerita pihak lain, yang merasa gentar dan gemetar. Lagi-lagi, saya berprasangka baik dan sangat ingin mendudukkan ini dalam bingkai pencarian kebenaran yang semestinya.
Dan ketiga, sambatnya ketika dihubungi petugas pajak yang seolah dengan cara tidak manusiawi mengejar untuk segera melaporkan SPT di akhir Maret 2023 ini. Saya pun sudah mendengarkan rekaman percakapan Soimah dan juga chat WA dengan petugas pajak. Duh…saya malah kagum dengan kesabaran dan kesantunan pegawai KPP Bantul ini. Meski punya kewenangan, ia tak sembarangan menggunakannya. Ia hanya mengingatkan bahkan menawarkan bantuan jika Soimah kesulitan. Ternyata itu dianggap memperlakukan seperti maling, bajingan, atau koruptor. Hingga detik ini pun meski Soimah terlambat menyampaikan SPT, KPP tidak mengirimkan teguran resmi, melainkan persuasi.
Agaknya hal di atas terkait dengan uneg-uneg Soimah yang seolah harus mengumpulkan nota hingga sungguh merepotkan. Saya bisa menjawab: itu ada Undang-undang dan aturannya. Tapi saya menjadi tak bijak. Saya hanya ingin bilang, Soimah mesti bersyukur penghasilannya cukup tinggi, sehingga menurut UU Pajak sudah harus menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung pajak. Yang tahu semua ini ya Soimah: berapa uang yang didapat, berapa biaya dikeluarkan. Rumit dan ribet? Iya juga sih. Tapi itulah konsekuensi aturan dan administrasi agar adil. UU tak bisa membedakan orang per orang, maka dibuat standar yang dijalankan jutaan orang wajib pajak. Mungkin ada benarnya kata seorang pakar “pajak itu hal tak mengenakkan yang harus ada supaya negara tetap berdiri tegak”.
Untuk itulah disediakan standar akuntansi, aplikasi pembukuan, jasa akuntasi, jasa konsultan dan lainnya. Memang tak mudah, tapi bisa dipelajari. Kantor Pajak pun menyediakan bimbingan dan konsultasi, selain jasa praktisi yang profesional dan terjangkau.
Soimah tentu seniman yang sudah matang bertumbuh kembang dalam falsafah Jawa. Barangkali ini sekelumit pengejawantahan seloka ‘jer basuki mawa bea’, atau ‘ana rega ana rupa’. Pemerintah tentu berterima kasih kepada para pembayar pajak, termasuk Soimah. Berkat kontribusi Anda kita bisa membangun dan melakukan banyak hal baik. Saya pun ingin berempati pada petugas pajak, khususnya di KPP Bantul. Terlepas soal target, Bantul bukanlah Jakarta Pusat yang penuh bangunan mentereng dan orang super tajir. Teman-teman di sana berusaha menjalankan tugas, yang setelah saya telisik, sesuai aturan dan kepatutan. Bisa saja ada oknum petugas yang bertindak tak pantas, meski dari rangkaian kesaksian, ingatan, dan catatan – tak ada alasan untuk harus melakukan tindakan itu. Pak Slamet Sutantyo, Plt Kakanwil Pajak Jogja, tegas tak segan meminta maaf jika ada kesalahan seperti itu.
Saya sudah menghubungi Mas Butet yang menyediakan diri menjadi penengah yang baik. Beliau mengajak pihak KPP dan Soimah duduk bareng, ngobrol hati ke hati. Tak perlu masing-masing merasa yang (paling) benar. Tapi ngobrol enak, sambil gojekan, mengenang interaksi masa lalu sambil mengungkapkan harapan buat ke depan. Sambung rasa yang lebih manusiawi – seperti kata Soimah. Menurut teman di KPP, sejak 2015 itu mereka bahkan belum pernah berhasil bertatap muka dengan Soimah. Duh, tentu akan jadi momen yang mengharukan jika seniman serba bisa kebanggan kita ini sudi ngobrol hati ke hati. Pasti para pegawai berebut selfie. Betapa dahsyat dampaknya. Wawuh!
Soimah Gugat yang berujung pada solusi menang-menang. Kantor Pajak perlu terus andhap asor, rendah hati dalam menjalan tugas. Sebaliknya, wajib pajak pun perlu memahami sudah banyak perubahan dilakukan sehingga tak beralasan untuk menghindari. Kepanjangan pajak itu: pasti aman jika ada komunikasi! Witing tresna jalaran saka kulina (awal mula cinta adalah perjumpaan).
Jika perjumpaan itu dapat segera dilakukan, tentu amat baik. Pada akhirnya ini soal rasa. Syukur-syukur di bulan penuh berkah ini. Ditutup buka bersama di rumah Mas Butet. Gayeng regeng. Sluman slumun slamet. Bahkan kalau berkesempatan, saya pun sangat ingin bergabung. Lalu dipungkasi tawa renyah, dan Mas Butet menutupnya dengan slogan khasnya: uasuwoookkk!!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *