Pajak, Cinta, dan Cita-Cita

Cinta saya pada pajak adalah cinta tak bersyarat. Saya mencintai pajak genap dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya pun memeluk semua dimensi: pentingnya pajak sebagai sumber penerimaan negara, ekspresi cinta negeri, piranti membangun kehidupan sosial yang lebih baik, upaya terus membangun kelembagaan, dan sebagainya.

Memeluk dunia dan isu perpajakan tak mungkin pilih kasih dan mau enaknya saja. Selain kebijakan dan regulasi, institusi perpajakan adalah pilar penting yang memastikan sistem dapat berjalan dengan baik. Kini, sekali lagi, institusi itu diguncang gempa. Gamangkah saya? Tidak. Kenapa?

Karena saya melihat dan melibati dari jarak yang amat dekat, meski saya tetap menjaga jarak pandang agar tetap terang objektif, saya bersemangat. Saya mengetahui dan meresapi tiap denyut perubahan dan ikhtiar untuk berbenah, berubah, dan menjadi genah. Bahwa ada riak dan kerikil, itulah realitas hidup yang tak pernah mulus dan lempeng. Ia kadang belok dan bengkok, justru karena kita tetap punya kebebasan untuk memilih dan pulih. Dunia yang penuh dengan aneka kemungkinan.

Saya selalu percaya prinsip moral: abusus non tollit usum. Bahwa penyimpangan tak lantas mengabaikan pentingnya tujuan mulia. Sejarah pajak tak kali ini saja cacat dan terluka. Sungai sejarah sejak Mesopotamia, Mesir, Yunani, Romawi hingga Inggris dan Prancis, mencatat banyak sekali pasang surut kebijakan dan praktik perpajakan: ada yang tercela, tak sedikit yang mulia.

Jika sekarang ada arang yang mencoreng, saya memilih ikut bercermin, berefleksi melihat diri tak perlu menuding. Lantaran pajak adalah muara kepentingan dan kesepakatan, tentu saja selalu mungkin adanya pengingkaran pada komitmen, di pihak manapun. Barangkali ini cara alam mengajak kita menyegarkan cita-cita, merawat dan meruwat harapan. Justru karena kita jujur dan teguh memegang komitmen, maka mala itu tersingkap dan harus lenyap.

Kita percaya pajak adalah ekspresi gotong royong. Bak burung, ia terbang dengan dua sayap berkepak. Gayung musti bersambut. Menimpakan semua dosa pada penyelenggara negara hanya menyembulkan kesan kita cuci tangan tak mau tampak kotor dan ingin serba suci bersih. Padahal dialektikanya jelas dan lugas: pajak punya dua sisi yang bersanding di keping koin kepatuhan. Kesadaranku harus diiringi tanggung jawabmu, dan kewajibanku bertalian dengan hak banyak orang.

Maka saling percaya, terus bercakap, membarui komitmen, merawat janji, dan menjaga ikhtiar adalah hakikat praktik perpajakan. Nafas kebersamaan yang terkoyak ini perlu disulam bersama-sama. Saya ingin dan akan terus percaya, sepanjang kita dituntun cita-cita yang sama tentang Indonesia merdeka.

Pajak adalah nafas kehidupan bersama, yang kepadanya denyut Republik dipastikan mengada. Mari memperbarui komitmen pada cita-cita mulia ini. Saya menyaksikan degup perubahan itu. Ia nyata dan hidup. Spirit itu memanggil dan menggerakkan saya, Anda, kita. Jangan pernah mau diharu biru oleh perasaan bersalah yang mengerdilkan, tapi mari terus berdiri tegak dengan tangan terkepal, bahwa kita bangkit dipanggil untuk Indonesia. Di sana bersemayam niat mulia, juga jalan yang adil dan bahagia.

Saya yang bukan siapa-siapa, terus berikhtiar menjadi sahabat seperjalanan menyusuri lorong panjang dan terjal ini, dengan satu keyakinan menggapai tanah terjanji: Indonesia yang lebih baik, rumah kita.

Salam hangat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *