"Seluruh ritual Gereja adalah penggambaran utuh pengalaman tubuh, sejak baptis yang diperciki air hingga komuni yang merupakan kehadiran tubuh Kristus. Kini, seluruh teologi itu hampir tak berbunyi dan ritual pun amat dibatasi, justru karena alasan yang sangat fisikal. Pengalaman sakramental dipertanyakan dan ditantang untuk dipikirkan ulang. Saya meminjam refleksi mendalam Jose Granados, superior general DCJM."
Natal kali ini terasa spesial dan janggal. Tentu saja bukan lantaran ada kejutan yang menggembirakan, tetapi kondisi pandemik yang memaksa kita merayakan natal secara berbeda. Tak ada misa yang meriah dengan nyala lilin yang gemerlap, lautan manusia yang bersukacita, dan aneka perlombaan penuh hingar bingar mensyukuri kelahiran Yesus Kristus. Natal kali ini sungguh berbeda akibat pandemi. Alih-alih pesta penuh suka cita, Natal dirayakan dengan misa online, menjaga jarak, menjauhi kerumunan.
Pandemi telah mengubah banyak hal, terutama cara kita berinteraksi dan berkomunikasi. Apa yang dulu baik, kini justru dibatasi: intimitas, kedekatan, hingga jabat tangan dan pelukan hangat. Kekristenan, khususnya Katolisitas, baik teologi maupun ritualnya, tak lepas dari dimensi kebertubuhan. Tuhan menjelma menjadi manusia, menderita sengsara disalib, dan bangkit dari kematian. Seluruh ritual Gereja adalah penggambaran utuh pengalaman tubuh, sejak baptis yang diperciki air hingga komuni yang merupakan kehadiran tubuh Kristus. Kini, seluruh teologi itu hampir tak berbunyi dan ritual pun amat dibatasi, justru karena alasan yang sangat fisikal. Pengalaman sakramental dipertanyakan dan ditantang untuk dipikirkan ulang. Saya meminjam refleksi mendalam Jose Granados, superior general DCJM.
Tubuh rawan menularkan virus yang dapat berujung pada bencana kematian yang mengerikan. Jutaan orang meninggal menjadi korban keganasan covid-19. Ketika angin segar karena penemuan vaksin berhembus, penularan varian baru virus covid-19 menambah ketidakpastian. Lantas bagaimana kita membaca ulang peristiwa sejarah yang menyelinap di balik peristiwa Natal, pengalaman sakramental, dan masa depan iman Kristen kita?
Meski berkebalikan, sebenarnya pengalaman pandemi menunjukkan satu hal yang sama: pentingnya tubuh. Kita dituntut menjaga dan merawat diri agar terhindar dari virus, tetap sehat dan hidup. Baik mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, minum vitamin – adalah cara manusia memelihara tubuh. Manusia tak boleh jatuh dalam fatalisme naif, bahwa kematian dan kebinasaan tubuh adalah takdir yang niscaya. Tubuh justru amat penting dijaga dan dipertahankan agar kehidupan terus berjalan dan keselamatan menjadi sempurna. Bagaimana manusia hendak ingkar, Ketika Ia justru hadir ke dunia, manusia malah jadi fatalis dengan menampik dunia.
Peristiwa Natal adalah pemberian diri Allah bagi manusia karena kasihNya yang luar biasa. Ia ingin manusia diselamatkan, dengan mengenalNya dan melakukan laku welas asih bagi sesama dan ciptaanNya. Inkarnasi atau Allah menjelma menjadi manusia. Tuhan yang menubuh, hadir di tengah kita untuk berbela rasa dan mengajarkan segala hal baik tentang Bapa. Pesan utama Natal amat gamblang: dunia ini bukan tempat terkutuk, tetapi sarana rahmat Allah bekerja. Bak petani yang membajak sawah atau nelayan yang melaut, rahmat Allah bekerja paripurna melalui tubuh. Lugasnya, pengalaman kebertubuhan adalah pengalaman mengupayakan rahmat Allah bekerja demi keselamatan manusia.
Yesus sendiri hidup, tinggal, dan berkarya bersama manusia, untuk keselamatan kita. Hingga pengorbanan sempurna di tiang salib yang memutus mata rantai kekerasan, menjadi kurban paripurna yang menebus dosa manusia. Ia bangkit dan selalu hadir hingga hari akhir, melalui peristiwa Ekaristi, di mana Ia mempersembahkan tubuh dan darahNya, tak sekadar dikenang, namun dihadirkan kembali. Peristiwa Ekaristi melahirkan communio atau persekutuan umat beriman yang selalu siap menerima perutusan Tuhan, perutusan Natal: mengupayakan rahmat Allah bekerja dengan tindakan nyata tubuh kita.
Pandemi membatasi kerja dan gerak tubuh hingga pengalaman kebertubuhan dan visi sakramental terancam. Georges Barnanos menyebutnya mentalitas disinkarnasi, yang menampik pentingnya pengalaman sakramental, pengalaman kebertubuhan yang sarat dengan makna. Dalam taraf tertentu, tantangan media virtual barangkali perlu ditimbang dalam terang inkarnasi. Padahal, sebagaimana dinyatakan Santo Bonaventura, meski sakramen adalah pemberian Allah, tetapi butuh tanggapan manusia yang kerap melukai sakramen dengan dosa. Maka silih dosa menjadi keniscayaan bagi murninya tubuh dan jiwa yang telah ditebus Tuhan. Pengalaman tubuh yang menderita di masa pandemi dengan demikian adalah pengalaman sakramental yang paradoksal: tubuh yang sedemikian penting itu kini terluka dan menderita demi dimurnikan agar semakin layak menjadi bait Allah yang hadir dalam rupa sakramen ekaristi.
Dengan demikian, pengalaman pandemi tak lain merupakan pengamanan rohani yang luar biasa. Kesadaran kita akan pentingnya tubuh, penjelmaan Allah, dan perutusan di dunia semakin kuat dan matang. Keterbatasan akan pengalaman sakramental sekaligus menegaskan keutamaan Kristen, yaitu iman dan pengharapan. Tak perlu banyak meratap dan menunggu. Sebagaimana Santo Agustinus katakan. Terhadap mereka yang menggerutu karena masa yang suram dan malang, Santo Agustinus menegaskan bahwa jika hidup kita baik, maka ini adalah masa terbaik. Kita adalah pembentuk waktu dengan tindakan kita.
Dan hidup baik itu hanya mungkin terwujud melalui sakramen. Kiranya sakramen dan pengalaman sakramental semakin menguatkan kerinduan dan harapan kita pada kasih Allah. Peristiwa Natal semakin menegaskan itu, terlebih saat natal menjadi hambar dan ritual kering di masa-masa normal. Pengalaman pandemi mempertegas kehendak dan panggilan Allah bagi kita. Syukur kepada Allah atas kasih karunia dan ujian yang diberikan, agar kita semakin dimampukan untuk memenuhi perutusan inkarnasi, menghadirkan sukacita dan kebaikan di tengah aneka kemalangan. Ia hadir, Tuhan beserta kita. Immanuel, selamat Natal, selamat merindukan sakramen. Per mundum ad coelum. Selamat memeluk dunia dengan belarasa, untuk menggapai sorga!
Bekasi, 25 Desember 2020
Tulisan ini saya persembahkan untuk guru dan sahabat saya, mendiang Romo B. Herry-Priyono,SJ