Ibu…..

"Perempuan yang kepadanya saya berhutang banyak, menimba air kasih sayang, belajar tentang pengorbanan dan harapan. Memahami arti kesetiaan dan panggilan hidup, tanpa keluh kesah. Penebusan pada masa lalu yang paripurna. Kini di hari tuanya, ia tetap bahagia. Hidup di kampung yang sama meski telah jauh berubah. Hanya satu yang abadi: kasih ilahi yang memancar bagi kami. Tetap sehat dan bahagia Ibu, semoga di malam Natal kita bersua. Menyelami kehadiran Dia yang berjerih payah menjadi hina demi keselamatan kita. Bertahun hidup bersamamu, aku sungguh mengalami dan menyelami Dia yang hadir dalam natal kecil kehidupan."

"Kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi, tak harap Kembali
Bagai sang surya menyinari dunia"

Lagu itu menancap kuat di benak saya. Bukan sekadar terlalu sering dinyanyikan waktu duduk di taman kanak-kanak, tetapi seluruh hidup saya adalah kesaksian kasih seorang ibu. Ibu saya bernama Caecilia Sukirah, kini 73 tahun, pejuang sepanjang hayat, pahlawan sejati bagi kami, anak-anaknya.

Ibu saya lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru), jenjang yang cukup tinggi untuk anak petani di sebuah kampung kecil di Gunungkidul. Dalam pusaran kemiskinan, ia bertekad mengubah nasib dengan memaksakan diri sekolah agar menjadi guru. Sayang nasib baik tak menghampiri. Ibu saya tertipu calo PNS waktu itu, pengalaman pahit yang membuatnya amat terpukul dan menjadi rendah diri. Akhirnya ia menikah dengan seorang guru, kakak kelasnya di SPG, yang tak cukup gagah dan ganteng buat paras ibu saya. Barangkali itu yang disebut jodoh, atau memang nggak ada pilihan?

Gairah dan nyala untuk berbakti melalui Pendidikan tetap kuat. Ibu mendirikan dan mengelola sebuah taman kanak-kanak bernama TK Theresia. Ia yang menjadi guru bagi hampir seluruh anak-anak di kampung, mengajak bernyanyi, mengajari menggambar, dan mengenal huruf dan angka, termasuk menempa budi pekerti. Ia tak memungut biaya untuk sekolah ini.

Sehari-hari ibu hidup dari bertani. Sejak pagi, diselingi mengajar, ia menggarap sawah sendirian. Menyiangi rumput, mengaduk tanah, menabur pupuk dan benih, hingga merawat dan memanen. Tak terbilang berapa ribu kali bahu dan punggungnya menggendong pupuk dan pakan ternak, dan sesekali hasil panen. Kebiasaan ini pula yang menempa saya sejak kecil, selalu menyusul ibu sepulang sekolah, sekadar membantu dengan sepeda membawa rumput pakan ternak.

Suatu ketika ibu pun beternak ayam broiler dan berjualan daging. Sesekali saya membantu mencabuti bulu ayam dan mengantar daging ayam ke para pelanggan. Apapun dilakukan demi menyambung hidup lantaran gaji bapak saya tak pernah bisa melewati tanggal 10 tiap bulan. Hingga ibu memutuskan untuk menanam bawang agar kami punya penghasilan lebih layak. Pagi dan sore, saya dan kakak bergiliran memikul air dari sungai untuk menyirami bawang dengan sepenuh hati, harapan satu-satunya buat jajan dan bayar uang sekolah.

Ibu tak pernah mengeluh, selalu bersahaja dan lebih banyak diam. Gurat wajahnya terasa memendam beban sejarah sekaligus menyembulkan harapan agar anak-anaknya bisa sukses, bercermin dari keadaan orang tua dan sanak saudara di kampung. Ibu hanya berpesan agar saya rajin belajar dan jujur, selebihnya biar Tuhan yang menggenapi. Harapan yang berkata-kata dari raut wajah ibu itulah yang menyemangati saya untuk rajin belajar dan membaca. Saya beruntung punya dua pakde, Pakdhe Marsidi dan Pak Tukidjan, yang berlanggan koran Kedaulatan Rakyat, Kompas, dan Tempo sehingga menjadi jendela dunia bagi saya.

Ibu tak pernah mengajari gengsi. Ia pun aktif menjadi penyuluh KB dan sukarelawan Pos Yandu, bertahun-tahun dilakukan tanpa rasa bosan. Ia tetap diam, tak cukup murah senyum. Gurat itu yang mendorong saya untuk bekerja keras. Saya berjualan mainan dan makanan anak demi bisa membeli sepatu atau buku. Ketika anak seusia saya riang bermain-main, saya larut berdagang dari satu keramaian ke keramaian lain, seraya membaca dan belajar. Maklum, listrik baru masuk desa kami saat saya hampir lulus SD. Masa kecil saya amat jarang nonton televisi, kecuali ketoprak sayembara atau olah raga dan film laga yang kami tonton di rumah salah seorang tokoh desa. Itu pun dengan catatan: stroom accu mencukupi!

Hiburan yang menjadi kemewahan adalah pertunjukan wayang atau layar tancap. Ibu setia menggendong saya di jalan yang gelap, berkilo-kilo, hanya ingin menyenangkan saya bisa nonton wayang kulit atau layar tancap. Ketika saya pulas di gendongannya, ia puas telah membuat saya terlelap. Ritual bertahun-tahun yang tak pernah membosankan.

Di teras rumah atau di kapel mungil berdinding bata kasar saya selalu menyempatkan diri memberikan les gratis untuk anak-anak di kampung. Kami belajar bareng, berbagi pengetahuan dan mencoba memecahkan soal. Sesekali saya membual tentang megahnya kota-kota di dunia, tokoh-tokoh besar, pahlawan olah raga, atau tentang Jakarta, kota yang bahkan belum saya datangi hingga lulus SMA.

Hingga akhirnya nasib mengantarkan saya kuliah di STAN Jakarta, hanya atas pertimbangan yang sangat praktis: gratis! Dulu saya terobsesi kuliah di UGM karena kerap melihat para mahasiswa yang ikut program KKN (Kuliah Karya Nyata) di desa kami yang tampak ideal: rambut gondrong, bercelana jeans belel, memakai sendal. Tapi Jurangmangu akhirnya menjadi candradimuka bagi kami, anak-anak dusun yang tak punya banyak pilihan untuk mengubah nasib. Menjadi PNS, hal yang tak pernah singgah di kepala saya karena pengalaman bapak yang sepanjang hidup selalu kembang kempis. Cita-cita saya mulanya menjadi pastor hingga berubah menjadi wartawan.

Gaji pertama, saya teringat ibu. Saya bergegas pulang dan membelikan ibu televisi berwarna. Ibu bangga, air matanya meleleh meski ia berusaha menyembunyikannya. Saya pun girang karena bisa membuat ibu senang. Ibu yang tak pernah bertanya berapa gaji saya, sekali pun tak pernah meminta dibelikan sesuatu, dan terus mengulang pesan agar saya selalu hati-hati (sluman slumun slamet) dan jujur. Sungguh saya mengalami kasih yang tak berbatas, bagaikan matahari yang selalu setia berbagi terang bagi siapa pun.

Ibu yang selalu mempercayai saya saat berada pada situasi genting dan harus mengambil keputusan penting. Saya paham ibu kecewa ketika sepuluh tahun lalu saya memberitahu bahwa saya telah mengundurkan diri sebagai PNS. Tapi ibu tak pernah sudi berkata-kata. Air mukanya hanya berpesan bahwa ia percaya apa yang saya putuskan adalah yang terbaik karena ibu sadar ia telah menempa saya sekian lama, dengan cucuran keringat, tangan dan kaki kapalan, dan kulit menghitam karena terik matahari.

Kini, setelah dua puluh tahun saya menikah dan memberinya dua cucu, ibu tetap tak berubah. Di usia senjanya ia masih tampak segar, parasnya tak berubah, gurat-gurat semangat hidupnya masih terlihat tegas. Meski ia menua, tapi tubuhnya tetap bugar. Alam dan hidup menempanya, tak sekadar menjadi perempuan perkasa, tapi sekaligus punya energi bak Sisifus menghadapi takdir.

Hari ini, 22 Desember 2020, saya ingin menuliskan secara khusus untuk pertama kalinya kisah tentang ibu saya. Perempuan yang kepadanya saya berhutang banyak, menimba air kasih sayang, belajar tentang pengorbanan dan harapan. Memahami arti kesetiaan dan panggilan hidup, tanpa keluh kesah. Penebusan pada masa lalu yang paripurna. Kini di hari tuanya, ia tetap bahagia. Hidup di kampung yang sama meski telah jauh berubah. Hanya satu yang abadi: kasih ilahi yang memancar bagi kami. Tetap sehat dan bahagia Ibu, semoga di malam Natal kita bersua. Menyelami kehadiran Dia yang berjerih payah menjadi hina demi keselamatan kita. Bertahun hidup bersamamu, aku sungguh mengalami dan menyelami Dia yang hadir dalam natal kecil kehidupan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *