Menyusuri ‘Korupsi’ di Sungai Waktu

Hampir tiap pekan publik disuguhi berita operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sepanjang tahun 2018, setidaknya 27 kepala daerah tertangkap tangan komisi antirasuah dari total 104 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.

Ini di luar OTT terhadap anggota DPR, anggota DPRD, pejabat dan penyelenggara negara, termasuk aparat penegak hukum. Tak kalah menggeramkan—Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua Mahkamah Konstitusi, menteri kabinet, dan petinggi BUMN—pernah terjerat korupsi dan meringkuk di hotel prodeo.

Deretan pejabat yang menjadi koruptor pun bak litani, begitu panjang dan seolah tak berujung. Yang menyedihkan, meski pasca-Reformasi upaya pemberantasan korupsi semakin gencar, intensitas penggangsiran uang negara juga tetap marak, kerap dilakukan berjamaah, bahkan tak menyisakan rasa malu. Tatkala kita dihadapkan pada pergumulan mengurangi jumlah orang miskin dan mempersempit jurang ketimpangan, korupsi menjadi ancaman terbesar bagi kegagalan mewujud visi para pendiri bangsa. Tak sedikit yang menganggap suap, sogok, dan rente adalah keniscayaan dalam sistem ekonomi-politik masa kini. Penyempitan pelaku korupsi pada penyelenggara negara dan bias ekonomi yang mengaitkan tindakan korupsi pada kerugian keuangan negara seolah mengabaikan bahwa praktik-praktik buruk itu terjadi dan menjangkiti hampir semua lini, termasuk sektor swasta, lembaga keagamaan, institusi pendidikan, dan sektor privat.

Kegelisahan inilah yang tampak jelas menjadi motif utama B. Herry Priyono dalam buku Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (Gramedia Pustaka Utama, 2018). Jika benar korupsi diterima sebagai sesuatu yang buruk, kenapa semakin tinggi intensitas wacana, penelitian, dan penindakan tak menyurutkan perilaku koruptif? Buku setebal 664 halaman dengan 127 halaman rujukan pustaka dan catatan akhir ini jelas sebuah proyek raksasa yang amat langka, ambisius, sekaligus amat penting. Tak mau terjebak pada diskursus dan polemik kontemporer yang sekadar memperdebatkan aspek legal, politis, maupun praktis—yang kerap menyisakan pro-kontra dangkal dan partisan—Herry Priyono menawarkan pendekatan filosofis yang menyuguhi pembaca cakrawala hampir tanpa batas. Buku ini disusun sedemikian runut dan rinci, sebagaimana layaknya pendekatan filsafat yang setia pada keketatan pustaka dan pemikiran.

Ikhtiar Melacak Arti

Buku ini diawali dengan masalah arti dan definisi korupsi, pelacakan arti dan konteksnya. Penelusuran dilakukan sampai sejak sebelum modernitas hingga fajar Pencerahan (Zaman Kuno, Abad Pertengahan, Tradisi Islam, dan Zaman Renaisans), Zaman Modern (dari pemikiran Thomas Hobbes, Montesquieu, Adam Ferguson, Adam Smith hingga Jeremy Bentham), dan Zaman Kontemporer yang tentu saja tak akan sahih tanpa sosiolog masyhur Max Weber, hingga pembiakan, ramifikasi orientasi, dan pendekatan.

Penelusuran sedemikian tajam dan mendalam tak terlepas dari latar belakang Herry Priyono yang merepresentasikan racikan komplet antara ilmuwan, guru, dan pegiat sosial. Ia mengajar filsafat di sebuah padepokan filsafat terkemuka di Jakarta, teoretikus ilmu sosial yang mengenyam pendidikan formal di London School of Economics and Political Science yang merupakan kiblat studi ilmu sosial terkemuka di Eropa, sekaligus peneliti sosial yang terlibat dalam pergumulan panjang pergerakan sosial-politik Indonesia di bawah rezim Orde Baru, pendampingan kaum marjinal di Jakarta, serta penelitian sosial di berbagai kota dan pedalaman di Indonesia. Dari perspektif Gramscian, Herry Priyono jelas contoh nyata seorang intelektual organik yang bidikannya tepat menyasar jantung problematik.

Di balik upaya menyajikan sebuah bahan bacaan yang setia pada keketatan akademik, rekam jejak keterlibatan Herry Priyono membantu pemahaman pembaca. Apa yang sesungguhnya rumit bisa dengan amat menarik dan nikmat dicecap lantaran setiap kalimat, paragraf, argumen, bahkan kritisisme disajikan dalam kalimat yang gamblang, diksi yang indah, dan jahitan narasi yang mengalir. Bayang-bayang ketebalan buku yang meneror akan sirna ketika kita membaca, bahkan sejak paragraf pertama. Tentu saja ini tak menjadikannya sebuah buku ringan, tapi penulis lihai menjadikan yang berat terasa ringan.

Barangkali inilah tugas mulia intelektual yang akhir-akhir ini semakin dilupakan: menuntun publik sebagai kawan seiring menuju kedalaman lewat upaya tulus dan sungguh-sungguh.

Tanpa sadar pembaca dituntun menyusuri belantara pemikiran yang amat kaya, penuh pernak-pernik, dan disuguhi dedahan pemikiran para tokoh dan karya utamanya secara paripurna. Bagi sebagian pembaca, barangkali ini bukan sebuah rute mudah, tetapi demi sebuah pemahaman baru yang lebih segar dan mendalam, ini adalah sebuah tuntutan yang tak terlampau muluk. Secara implisit, Penulis meminjam metode yang lazim dipakai para pemikir menjelang Fajar Pencerahan seperti Thomas Hobbes dan Galileo, yakni metode resolutif-kompositif (hlm. 149-150). Metode ini berasal dari Padua Italia, maka disebut Mazhab Padua dengan tokoh utamanya Marsilius Padua. Ringkasnya, metode ini mempreteli bagian-bagian (the part) dari keseluruhan (the whole) melalui pelacakan gejala sebab-akibat dengan metode komposisi dan resolusi. Sebuah gejala/objek diurai hingga unsur terkecilnya, dalam tindakan maupun pikiran, dicermati hakikatnya dan kemudian disusun kembali menjadi keutuhan. Langkah resolutif disebut metode analisis, sedangkan langkah kompositif disebut sintesis (hlm. 149).

Herry Priyono memulai dengan kritik akan miskinnya definisi ‘korupsi’ dan bias dari definisi itu. Korupsi pertama-tama tidak didefinisikan tetapi dikenali dari ciri-ciri tindakannya. Tiap upaya membuat definisi pasti menghadapi dilema: menuntun pada pemahaman sekaligus berisiko mengerdilkan makna dan cakupan. Strategi ini tentu saja sah, tetapi menyisakan persoalan mendasar lantaran mengalami beberapa bias; seperti bias hukum (suatu perbuatan sebagai korupsi atau bukan sejauh ditetapkan atau tidak ditetapkan dalam undang-undang), bias sentrisme-negara (korupsi dipahami sebagai gejala dan perbuatan menyeleweng di ranah publik/penyelenggaraan negara), dan bias ekonomi (suatu perbuatan dianggap korup jika berkaitan dengan adanya kerugian keuangan).

Robert Williams mengakui betapa sulitnya membentuk definisi korupsi yang mengungkapkan keluasan daya cakup tapi punya daya pilah (hlm. 38). Toh, Penulis menyarikan tiga tipologi definisi korupsi yang erat dengan tiga poros definisi korupsi; yakni definisi yang berporos pada jabatan publik, mekanisme pasar, dan kepentingan publik. Pertama, tipologi ‘figuratif metafor’ yang memakai pembedaan antara korupsi berciri ‘memakan rumput’ (grass-eating) untuk menerima hanya suap jika ditawari, dengan ‘memakan daging’ (meat-eating) sebagai istilah bagi tindakan berburu suap. Kedua, tipologi yang membedakan korupsi kecil dan korupsi besar. Korupsi kecil dilakukan warga kebanyakan ketika berurusan dengan administrasi penyelenggaraan negara seperti mengurus KTP, SIM, atau terkena tilang. Korupsi besar mengacu pada penyelewangan yang dilakukan pejabat dan penyelenggara negara; seperti korupsi KTP elektronik, proyek Hambalang, mafia pajak, dan lainnya. Dan ketiga, tipologi yang membedakan jenis korupsi hitam, putih, dan abu-abu. Tiga jenis ini merujuk pada praktik yang dianggap korup oleh semua kalangan (hitam), dianggap korup tetapi diterima sebagai hal wajar (putih), dan praktik yang dianggap korupsi oleh satu pihak, tetapi bukan korupsi oleh pihak lain (abu-abu).

Pergeseran Makna Korupsi

Hal penting dan khas dalam buku ini adalah metode membabar sejarah pemikiran untuk menggeledah makna korupsi dan memahami arti, pembelokan, penyempitan, dan implikasinya. Tentu saja elaborasi yang layak tak dapat diringkas dalam beberapa poin pendek yang justru akan menjadi kesewenang-wenangan. Namun, upaya kikir menyarikan kekayaan khazanah mesti dilakukan dan terdapat beberapa tokoh sentral yang pemikirannya penting dan menentukan masa depan wacana korupsi.

Usai menyajikan asal-usul praktik dan pemahaman suap di zaman kuno, Aristoteles adalah filsuf pramodern yang paling otoritatif untuk dirujuk. Bagi Aristoteles, kehidupan dalam polis adalah satuan organik tubuh. Metafor biologis ini juga mendasari pemikirannya tentang politik dan pemerintahan, yang dilukiskan bahwa ibarat tubuh, korupsi berkaitan erat dengan kerusakan tata pemerintahan menuju cirinya yang busuk (hlm. 74). Dalam pemikiran Aristoteles terdapat dua pengertian korupsi; yaitu korupsi sebagai degenerasi (kemerosotan) tata pemerintahan dan kehidupan polis, dan korupsi sebagai penyelewengan kekuasaan/jabatan publik. Pemikiran Aristoteles ini bertalian dengan pemikiran para pujangga Romawi yang menekankan ciri etis korupsi yang ditandai dengan pudarnya nilai-nilai “republikan”; seperti kebebasan (libertas), mufakat (concordia), keutamaan (virtue), dan keandalan (fides). Dalam bahasa Cicero, korupsi telah membusukkan kehidupan publik Romawi, tercermin dalam pengejaran keuntungan diri dalam penyelenggaraan administrasi publik dan pemerasan negara untuk keuntungan diri sebagai kriminal.

Pemikir penting berikutnya yang akan menjadi bayang-bayang pemikiran modern adalah Agustinus, seorang teolog dan filsuf yang amat fasih tentang alam pikir Yunani dan Romawi. Jasa besar Agustinus adalah menggeser lokus refleksi tentang korupsi, kemerosotan, dan keburukan dari yang bercorak eksterior di era Yunani dan Romawi, menjadi bercorak interior. Penelusuran ke palung batin inilah yang menjadi muasal lahirnya individualitas dan kelak membedakan yang privat dengan yang publik. Tak sekadar berhenti pada interioritas, Agustinus mengayunkan refleksi moralitas personal ini ke panggilan keterlibatan di tataran superior, yang disebutnya kota Ilahi (civitas Dei).

Berbeda dengan Agustinus yang murung, Thomas Aquinas—teolog masyhur Abad Pertengahan—memandang paham korupsi tidak dikaitkan lagi dengan keberdosaan manusia, tetapi corak tertentu politik. Pemerintahan duniawi bukanlah implikasi paksa dari keberdosaan manusia, melainkan ungkapan kapasitas rasional dan sosial manusia yang dimaknai sebagai upaya pencapaian ‘kebaikan bersama’. Dengan demikian, Aquinas telah menggeser arti korupsi dari persoalan di tataran teologis ke sosiologis. Bagi Aquinas, korupsi dalam pemerintahan berakar pada cupiditas (nafsu akan keuntungan diri) dan avaritia (ketamakan). Era pramodern dipungkasi oleh pemikiran Machiavelli, yang sekaligus menjadi jembatan pemikiran dari era Renaisans ke Modern. Bertolak dan melampaui Agustinus dan Aquinas, yang khas dari Machiavelli adalah ciri moral dan keragaman arti korupsi kini merupakan turunan ciri politisnya. Korupsi selalu berciri politis dan jatuh bangunnya politik berpusar pada persoalan korupsi (hlm.142).

Ketika fajar modernitas merekah, pemikiran tentang korupsi tetap berkembang dengan dua pemikir penting, Thomas Hobbes dan Jeremy Bentham. Peran penting Hobbes adalah cara berpikir barunya yang berbeda dengan para pendahulunya. Pemikiran Hobbes juga menandai babak baru periodisasi pemikiran yang tidak berasal dari otoritas eksternal (hukum kodrat, raja, atau Tuhan), melainkan kepanjangan kolektif hasil perjanjian/kontrak sosial warga. Dengan titik tolak anatomi diri manusia dan menyusunnya menjadi keseluruhan tata negara, Hobbes telah menciptakan paham individu sebagai pelaku politik. Implikasinya, pembedaan antara yang publik dan privat berkembang menjadi matang (hlm.155). Korupsi pun bergeser dari isu moralitas ke isu hukum dan ketatanegaraan. Tanpa adanya hukum, tak akan ada korupsi (lahirnya bias-hukum). Meksi korupsi pun tetap bermakna kemerosotan, tapi bukan dalam arti moral, melainkan kerusakan tatanan negara.

Jeremy Bentham yang hidup di era kemerosotan tata pemerintahan Inggris yang kacau-balau menganut paham utilitarianisme, bahwa kriteria “baik” dalam tindakan atau tatanan adalah yang membawa kemaslahatan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang (the greatest happiness for the greatest number). Sumbangsih sentral Bentham adalah menggeser definisi korupsi klasik ke pengertian yang berporos pada jabatan publik (public office-centered definition).

Ciri moral korupsi bukan lagi personal atau moral umum masyarakat, melainkan moral sebagai integritas jabatan dan sistem tata kelola organisasi. Di sinilah pernak-pernik pemahaman dan wacana korupsi kontemporer bermula dan berbiak.

Penelusuran gagasan korupsi di sungai sejarah akhirnya bermuara pada pemikir raksasa Max Weber yang menjadi rujukan hampir seluruh diskursus kontemporer mengenai korupsi dan birokrasi. Weber adalah peletak dasar pemikiran birokrasi modern yang hierarkis, spesialis, dan melaksanakan tugas sebagai panggilan (Beruf), yang dilawankan dengan corak tata kelola tradisional. Namun demikian, birokrasi modern bersifat ambivalen karena di satu sisi menjunjung kesetaraan sehingga birokrasi modern menjadi “poros demokratisasi masyarakat”. Sebaliknya, prasyarat rekrutmen melalui ujian dan spesialisasi membuat birokrasi cenderung “menciptakan suatu kasta dengan privilese”, munculnya kelompok status baru yang menjadi repetisi masa lalu, dan menghasilkan plutokrasi. Secara lugas, konsepsi Weber tentang korupsi juga bertumpu pada dikotomi birokrasi modern vs tradisional, bahwa korupsi adalah penyelewengan standar modern legal-rasional oleh perbuatan yang didasarkan pada standar tradisional/patrimonial (hlm. 262-263). Korupsi semakin sempit dimengerti dalam kerangka kekuasaan negara (state-centered notion of corruption), khususnya korupsi birokrasi.

Refleksi sebagai Undangan Pembaruan Aksi

Penggeledahan gagasan yang hidup, tersembunyi, dan bersemayam dalam lintasan waktu ini akhirnya berpuncak pada bahasan tentang korupsi sepanjang abad ke-20 hingga saat ini. Bertolak dari pemikiran Weber, apakah korupsi serta-merta akan hilang ketika sebuah tata pemerintahan mempraktikkan birokrasi profesional? Faktanya, di abad ke-20 kita disuguhi begitu banyak contoh skandal korupsi politik di beberapa negara modern, dan sebaliknya, surutnya korupsi birokrasi di beberapa negara modern. Bahkan di negara-negara modern yang baru lahir, korupsi tidak hilang meski hukum dan birokrasi sudah disusun menurut prinsip legal-rasional. Di titik inilah, proyek antikorupsi berjumpa proyek baru bernama pembangunan. Dipelopori Bank Dunia dan Transparency International, wacana dan gerakan antikorupsi lahir, tumbuh, dan berbiak sebagai kajian kebijakan dan gerakan. Ujungnya, titik tengkar bukan lagi pada apakah korupsi itu baik atau buruk, melainkan bagaimana menanam dan menjahit kebijakan dan gerakan antikorupsi.

Kelebihan dan daya pesona buku ini berpuncak pada kelihaian Herry Priyono memerinci semesta pendekatan kontemporer korupsi, berikut timbangan kelebihan dan kekurangan.

Pergeseran wacana dari wilayah filsafat moral ke ilmu sosial ditandai dengan maraknya pendekatan ekonomi, tata kelola, antropologi, kriminologi, sosiologi, Marxist, dan pendekatan lainnya. Sebagaimana karya filsafat, buku ini akhirnya dipungkasi dengan refleksi mendalam sekaligus menggugat berbagai keterbatasan pendekatan. Apa pun, jejak panjang gagasan tentang korupsi berikut pasang surutnya berhulu pada isu moral dan kini penting ditimbang dari perspektif tersebut. Herry Priyono kemudian membekali pembaca dengan pisau analisis yang tajam untuk membedah jantung masalah wacana dan gerakan antikorupsi. Ditunjukkannya ciri moral korupsi, daya institusi yang bercorak normatif dan deskriptif, hingga ciri institusional korupsi. Terpenting, elaborasi tentang tujuan, tindakan dan dampak korupsi yang membandingkan secara kritis beberapa mazhab etika, dari utilitarianisme, deontologi, dan teleologi.

Sebagaimana Weber yang didedah dalam buku ini, yang memilih tidak menjadi seorang romantik yang mengidealkan begitu saja masa lalu, Herry Priyono persis berdiri di barisan ini. Meminjam metode para teolog la nouvelle théologie di pertengahan abad ke-20, Herry Priyono menggunakan metode ressourcement (kembali ke sumber) untuk melakukan aggiornamento (pembaruan). Pelacakan arti dan penyimakan implikasi bukan untuk sekadar kembali ke masa lalu, melainkan untuk menimba hikmah, inspirasi, dan energi bagi pembaruan gerakan antikorupsi. Simpang siur gagasan dan gerakan antikorupsi tak selayaknya menyurutkan ikhtiar kita. Sebaliknya, Herry Priyono mengajak kita lihai dan cakap menunggangi sejarah. Wajah paradoksal ciri nonpartisan/imparsial mesti diperjuangkan melalui ciri partisan/parsial. Inilah panggilan dan tugas sejarah kita, anak zaman yang telah dipersenjatai dengan pisau analisis yang sungguh dahsyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *