Foto/SINDOnews

Tarif Pajak Turun, Tepatkah?

Corona datang begitu tiba-tiba, sampai-sampai tak memberi kesempatan buat berjaga-jaga. Di Indonesia, ia bahkan datang di awal tahun, ketika kalender baru belum juga dipajang dan banyak rencana mulia dirancang. Di tengah tekanan yang amat kuat, terutama menghadapi penyebaran Covid-19, kita juga mengalami tekanan terhadap perekonomian yang tak kalah hebat. Sisi pasokan maupun permintaan terpukul sekaligus, mobilitas orang dan barang yang menjadi nyawa perekonomian pun berhenti. Di saat seperti ini, Pemerintah dihadapkan pada dilema: menghadapi wabah butuh dana, tapi memungut pajak menjadi tak bijaksana!

Ekonomi pandemi kemudian menjadi pilihan. Belajar dari start yang kurang bagus di awal, Pemerintah mengejar ketertinggalan dengan meluncurkan berbagai paket kebijakan. Pajak yang selama ini kerap ditakuti kini menjadi penyelamat. Ciri gotong royong yang timbal balik, kini sungguh terbukti. Insentif demi insentif digelontorkan. Saya sebut Paket Penyelamatan Industri Padat Karya. Dimulai dengan PMK No. 23/2020, Pemerintah memberi insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah untuk sektor manufaktur, pembebasan PPh Pasal 22 impor bahan baku sektor manufaktur, pengurangan PPh Pasal 25, dan percepatan restitusi PPN. Cakupan sektor yang menerima insentif juga akan diperluas seiring meluasnya dampak Covid-19. Puncak kebijakan fiskal adalah terbitnya Perppu No. 1/2020. Dari sisi perpajakan, selain merelaksasi administrasi perpajakan dan rencana mengenakan pajak atas perdagangan melalui sistem elektronik, Pemerintah juga menurunkan tarif PPh Badan, dari 25 persen menjadi 22 persen di tahun ini, lalu menjadi 20 persen mulai tahun depan.

Lalu tepatkah kebijakan penurunan tarif PPh ini sebagai salah satu insentif? Pelaku usaha sudah semestinya bersyukur. Wacana yang rencananya melalui Omnibus Law baru akan berlaku 2021 dipercepat. Motif awal sebagai pemanis investasi pun berubah menjadi penyambung nafas perusahaan di tengah himpitan badai corona. Seharusnya sebagian besar wajib pajak badan selain kategori UKM dan yang dikenai pajak final akan menikmatinya. Tak cuma itu, konsekuensi tarif pajak turun adalah berkurangnya angsuran PPh Pasal 25 Tahun 2020, setidaknya sejak April 2020. Jadi tahun ini pun wajib pajak sudah bisa menikmati kelonggaran kas.

Tentu saja penurunan tarif pajak tak bisa berdiri sendiri. Ia musti diikuti perubahan kebijakan lain yang kondusif bagi keberlangsungan usaha. Tak berhenti di situ, Pemerintah menerbitkan Perpres No. 54/2020, yang antara lain mengatur penyesuaian target penerimaan perpajakan, realokasi, dan penggeseran belanja APBN agar lebih efektif dan tepat sasaran mengatasi dampak Covid-19. Penyesuaian target pajak dimaksudkan pula untuk memoderasi beban fiskus dan relaksasi pemungutan pajak, selain untuk menghitung kebutuhan pembiayaan.

Memerhatikan gelontoran insentif di saat kritis seperti ini memang membutuhkan mata awas. Alih-alih buru-buru bilang ini tidak tepat atau terlalu berpihak pada kelompok usaha tertentu, lebih mulia jika kebijakan bagus ini didukung dan didorong agar penerapannya konsisten. Sangat dimaklumi kita berharap akan ada paket insentif susulan, yang sedang dirumuskan. Menghadapi situasi yang luar biasa sungguh dibutuhkan cara pandang dan strategi yang luar biasa pula. Kadang diperlukan pula tenggang rasa dan sedikit kesabaran. Di sisi Pemerintah, sudah menjadi keharusan jika situasi mahasulit ini mensyaratkan kecermatan. Rupiah demi rupiah yang dikumpulkan harus betul-betul terjaga demi pembiayaan aneka kebutuhan yang datang bertubi-tubi.

Kita memang sedang diuji, tentu diuji agar naik kelas. Jika negara lain akhir-akhir ini juga menurunkan tarif pajak, cukup pasti itu bukan tindakan gegabah. Thailand dan Vietnam mematok tarif 20 persen, India menurunkan tarif dari 30 persen menjadi 25 persen, dan Malaysia juga menyesuaikan tarif menjadi 24 persen. Bahkan tak tanggung-tanggung, Tahun 2018 Amerika Serikat memangkas tarif dari 35 persen menjadi 21 persen!

Hemat saya, Pemerintah sudah berada pada rel kebijakan yang tepat. Tinggal perluasan cakupan, akselerasi, dan implementasi terus dikawal. Tak benar bahwa pelaku UKM ditinggalkan. Beban pajak pelaku UKM masih sangat terbuka direlaksasi meski tarif saat ini sudah cukup rendah, 0,5 persen. Namun skema penyelamatan terpenting bagi UKM saat ini adalah membantu pembiayaan, entah melalui relaksasi berupa penundaan pembayaran cicilan maupun suntikan modal kerja. Ini yang sedang digarap dengan sangat serius oleh Pemerintah.

Agar semua terukur dan bertanggung jawab, disusunkan kriteria dan syarat. Bukan untuk menghambat tapi memastikan tak ada moral hazard dan pembonceng gelap. Ucapan Steve A. Bank benar belaka. Jika abad ke-20 pajak adalah pedang, maka abad ini pajak adalah perisai. Ia benteng bagi keberlangsungan kehidupan, bahkan hingga anak cucu kita kelak. Kita sedang lomba marathon dan baru tiba di salah satu perhentian. Jaga stamina dan panjang sabar, kawan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *