Jangan lupa tulisan di bungkus obat batuk: “kocok dahulu sebelum diminum”. Untuk mulia dan sejahtera, kerapkali kita musti diguncang dengan ujian. Keberanian memeluk tantangan dan memandang ke depan, adalah ciri-ciri pemenang!
Pak Fuad yang saya hormati,
Bapak kemarin menulis “Paket Stimulus Covid-19: Stimulus atau Stimules?” Saya tak kaget, cuma mengelus dada. Di saat seperti ini, semangat gotong-royong kita semakin diuji. Yang dibutuhkan adalah saling kerja sama dan bela rasa, bukan caci-maki, apalagi menghasut. Dengan segala hormat, Bapak tak menunjukkan keutamaan itu.
Tentang paket genjot pariwisata 72 M yang disebutnya “jadi bahan olok-olok”, tak banyak bisa dikatakan. Apa hendak dikata? Stimulus itu dikeluarkan ketika virus corona belum terdeteksi di Indonesia, bahkan belum ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO. Pada masa itu pun, sektor pariwisata sudah cukup terpukul. Padahal, sektor itu salah satu andalan kita.
Tapi apa lacur. Situasi berubah. Pada akhirnya diakui bahwa kebijakan itu tak lagi relevan. Maka keluarlah stimulus II dan III. “Errare humanum est, sed perseverare diabolicum,” kata Seneca. Salah itu manusiawi, tapi bertahan dalam kesalahan adalah sifat iblis. Pemerintah kita tentu bukan iblis. Kebijakan stimulus pun diubah. Katakan itu tak tepat, kiranya menjadi pelajaran berharga buat semua.
Lalu tentang fasilitas PPh yang disebutnya “tidak nendang”—di mana bela rasa Pak Fuad ketika menuliskan pokok ini? Adakah dalam hatinya tempat bagi sekian pengusaha yang mati-matian bertahan, bagi sekian pekerja yang terpaksa di-PHK atau dirumahkan? Tujuan insentif ini memang bukan menyembuhkan, melainkan mengurangi dampak: menopang arus kas perusahaan supaya mampu bertahan. Jika perusahaan mampu bertahan, angka PHK diharapkan bisa ditekan.
Secara harfiah, stimulus adalah rangsangan. Tujuannya adalah mengaktifkan si penerima. Karena itu tak ada keharusan bahwa ia harus on top dari APBN. Yang terpenting adalah supaya si penerima bangkit. Stimulus untuk bidang kesehatan, misalnya, ditujukan supaya ia aktif menggeliat, memberi respons yang dibutuhkan untuk menangani pandemi. Sebaliknya, efisiensi anggaran sehingga menghasilkan sejumlah uang untuk insentif, bukankah sesuatu yang baik?
“Cuma 73,4 T, bukan 405 T!” kata Pak Fuad. Ya, tentu. Angka 405 triliun memang bukan seluruhnya tambahan anggaran. Sumbernya antara lain penghematan anggaran (termasuk alamiah), refocusing dan realokasi anggaran kementerian/lembaga, dan anggaran cadangan belanja pemerintah. Tetapi apakah kita akan berdebat soal istilah di masa seperti ini, dan justru melupakan esensinya? Silakan saja Pak Fuad akan menyebutnya stimulus atau bukan. Bagi kami yang terpenting: keselamatan, kesehatan, kesejahteraan rakyat. Akrobat matematis seperti ini justru bertentangan dengan salah satu prinsip dalam akuntansi bahwa “substansi mengungguli bentuk”, isi melampau apa yang tertulis.
Anehnya, Pak Fuad justru menyebut kebijakan realokasi itu “tidak signifikan”. Faktanya, total belanja negara yang dapat dihemat sebesar Rp190 T, terdiri dari K/L sebesar Rp95,7 T dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp94,2 T (termasuk alamiah). Yang membuatnya signifikan mungkin memang bukan pertama-tama berapa jumlahnya, melainkan dari mana. Banyak alokasi anggaran dari K/L yang sifatnya mandatory (pendidikan, kesehatan, pertahanan keamanan dan untuk belanja pegawai), tetap dipertahankan.
Tentang ibu kota baru, pemerintah melalui Kementerian PUPR sudah menyatakan bahwa itu bukan prioritas. Terlebih lagi, sejauh ini proyek ibu kota baru masih terbatas pada pekerjaan lunak yang tak berhubungan dengan konstruksi. Bahkan, biaya survei lapangan dan sejumlah keperluan dinas proyek ibu kota baru telah dipangkas.
Dampak meningkatnya belanja negara dalam menanggulangi pandemi adalah defisit anggaran. Belanja meningkat, penerimaan perpajakan mengalami kontraksi, defisit melebar. Tetapi tak cukup melihat dari sisi itu. Kita harus mengerti, jika tax expenditure (belanja pajak) naik maka tax revenue akan turun. Tax expenditure ini merupakan hidden subsidy dengan banyaknya insentif fiskal yang digelontorkan. Ini menjadi kebijakan alternatif dan sesuatu yang secara eksplisit dapat ditelusuri dalam laporan anggaran. Lagi pula, resep ini pun sejalan dengan rekomendasi banyak lembaga internasional yang kredibel.
Menkeu juga sangat prudent dalam mengelola APBN. Bayangkan jika support untuk para tenaga kesehatan terbentur karena batasan defisit anggaran hanya 3%! Sangat tak elok jikalau peran pemerintah dalam menyelamatkan nyawa dibelenggu formalitas keuangan Negara. Namun demikian, pemerintah berkomitmen untuk mengelola anggaran secara disiplin agar dapat kembali ke batas defisit maksimal 3% yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Perppu 1/2020 tidak serta merta memberi kebebasan seluas-luasnya bagi pemerintah untuk menentukan defisit sebebas-bebasnya. Lembaga pengawas seperti BPK dan BPKP dilibatkan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran agar akuntabilitas anggaran tetap terjaga dengan baik. Dan ujungnya, pelaksanaan APBN tetap harus dipertanggungjawabkan Presiden kepada DPR.
Hal paling sensitif dalam membicarakan keuangan negara adalah soal utang. Pak Fuad juga menyinggung soal ini, tetapi mungkin beliau lupa jika Indonesia punya fiscal rule. Aturan kita jelas: total utang tidak boleh lebih dari 60% dari PDB, dengan maksud agar kesinambungan fiskal kita terjaga. Berapa utang kita sekarang? Masih sangat jauh dari itu: 30% pun tak sampai. Jika dijejer dengan seluruh negara di dunia, kita bahkan berada di urutan 158! Lagipula, utang ini utang produktif, demi jangka panjang menjaga perekonomian dan keselamatan rakyat, bukan utang konsumtif.
Menimbang situasi kini, apakah menyebut “ketidakpastian global” hendak kita nilai sebagai dalih? “Tetap berada di tubir yang memusingkan itu—itulah kejujuran, dan selebihnya hanya dalih,” kata Albert Camus dalam Le Mythe de Sisyphe. Di dunia yang semakin lari tunggang-langgang, yang semakin terhubung sebagai dusun global (global village), kita wajib akrab dengan ketidakpastian. Membandingkannya dengan masa Orde Baru tak lain daripada kesesatan anakronis, keliru waktu. Kecuali kita ingin kembali ke masa gelap itu dan tak mau memunggungi masa lalu dan memetik pelajaran berharga darinya.
Jadi, stimulus atau stimules? Apapun, terserah Pak Fuad. Pemerintah sedang tak berselera berdebat istilah. Bersama rakyat, pemerintah sedang berjuang meracik obat anti-mules buat bangsa ini. Jangan sampai corona bikin kita merana. Jangan lupa tulisan di bungkus obat batuk: “kocok dahulu sebelum diminum”. Untuk mulia dan sejahtera, kerapkali kita musti diguncang dengan ujian. Keberanian memeluk tantangan dan memandang ke depan, adalah ciri-ciri pemenang!
Jakarta, 22 April 2020
Salam hormat