Komunikasi yang manusiawi: mungkinkah?

Komunikasi hari-hari ini seolah direduksi hanya sebatas perang opini. Layaknya perang, sebisa mungkin lekas usai dan kita jadi pemenang. Mesti ada yang kalah. Winner takes all!

Agenda setting mesti memerhatikan usia isu, akan kuat berapa lama nangkring sebagai trending topic dan viral. Tak peduli benar atau salah. Substansi kerap menjadi sekunder, kalah dengan kemasan.

Jika kita perhatikan isu-isu belakangan dan dibuat ke gambar gelombang, mungkin bisa disandingkan isu BC, UKT, Timah, dan mungkin Tapera. Polanya cenderung berulang, mirip gelombang pasang surut. Krisis akan jadi bagian sehari-hari, satu sisi selain kewaspadaan – pada satu keping mata uang realitas kehidupan.

Nasib baik atau buruk lalu terasa sebagai bagian permainan dadu. Hanya menunggu giliran kini atau esok, apes atau beruntung hanya perkara waktu.

Jika dulu saya perlu pergi ke perpustakaan untuk mencari tahu pada buku, atau bertanya ke ilmuwan, lantas membangun narasi dan argumentasi bahkan sengit berdebat, kini cuma butuh bantuan pemengaruh dan pendengung. Epistemologi masa kini adalah apa yang diperbincangkan berulang akan menjadi kebenaran.

Publik sejatinya tidak sedang diajak mengawasi satu isu tetapi disuguhi banyak isu yg mengiringi banyak kejadian yg terjadi simultan. Ada nuansa manipulatif ibarat diajak ribut di pagar rumah tapi dibobol maling lewat pintu belakang.

Lalu apa itu komunikasi dan strategi komunikasi? Jangan2 ilmu komunikasi (lama) sudah mati dan belum lahir ilmu baru? Apa artinya komunikasi yang dicerabut dari hakikat menjadi manusia? Atau jangan2 memang lebih mendasar lagi, definisi apa itu manusia pun sudah berubah?

Manusia yang dulu diyakini sebagai puncak segala ciptaan, citra Tuhan, insan kamil – yang kini menjadi atom2 berserakan tanpa tujuan? Pertanyaan sekali lagi, mungkinkah komunikasi menjadi magnet yg memungkinkan terjadinya afinitas antar-insan, untuk kembali rekat dan hangat?

Rasanya masih mungkin dan mesti dijawab positif. Di balik pandemi layar gawai yang menghimpit kita dalam situasi kontradiktif: mampu melihat kemahaluasan semesta sekaligus terkungkung dalam dimensi yang sempit dan kerdil. Cerdas dan picik lalu menjadi berimpitan.

Manusia barangkali akan digantikan teknologi dan hidupnya menjadi sangat mudah sekaligus tak bermakna. Di saat seperti ini, biasanya ada kerinduan akan asal usul. Menolak penemuan dan kebaruan, lalu menengok ke belakang. Itulah kenapa arisan dan paguyuban berbasis daerah, suku, dan trah akan selalu aktual.

Hidup tampaknya akan seperti ini. Tinggal mencari takaran yang pas. Makin maraknya warung kopi sebenarnya jadi pertanda baik. Yang ragawi tetap penting, meski tetap perlu diuji, apakah intimitas di sana betul2 menjadi perjumpaan ragawi atau tetap saja bergantung pada keandalan wifi untuk berselancar dalam persahabatan virtual? Satu resep yang tak dijamin manjur: rajinlah main ke warung kopi, simpan gawai, tawarkan diri terbuka untuk berbincang dengan liyan, berbagi tatapan personal.

Mungkin itu sedikit penghiburan bagi jiwa-jiwa yang kelelahan bertarung di media sosial, mencari diri sejati pada realitas semu, namun punya kecemasan dan kerinduan pada Sangkan Paraning Dumadi. Entah pada rahim ibu, Tuhannya, atau hal2 baik yang selalu membayangi sudut hidupnya.

Selamat mencoba!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *