Guru pagi ini

Pagi tadi 5.30 WIB, saya memulai rutinitas jogging di kompleks. Pagi tadi agak sepi, barangkali karena sinar matahari redup tertutup kabut, atau euforia Piala Dunia masih menyisakan kemalasan untuk bangun pagi.

Setelah berlari 1,5 kilometer, mata saya tertawan sosok di sudut jalan yang sepi. Sebuah sepeda lawas dipenuhi untaian kopi saset dan seorang bapak tua duduk santai di pojokan taman. Saya berhenti dan hampiri Bapak itu. Senyumnya merekah lepas, sangat ramah. Lalu saya ulurkan tangan untuk berjabat tangan seraya berkenalan.
Pak Suwardi, lelaki tua yang padanya saya salah sangka. Beliau sudah 25 tahun tinggal di sekitaran sini, ikut anaknya. Ia bosan dan tak enak hanya momong cucu. Padahal semua kebutuhan sudah dicukupi oleh anaknya yang bekerja sebagai karyawan di sebuah rumah sakit di Jakarta.
Ia mengaku malu masih sehat hanya duduk manis di rumah. Maka ia berjualan starling (starbuck keliling). Buat hiburan dan agar bahan sehat. Pula biar pegang uang hasil jerih payah sendiri. Luar biasa!
Pak Suwardi bercerita, sepeda yang ia pakai ini punya cucunya saat masih sekolah SD dan saat ini sudah lulus kuliah dan bekerja di sebuah apotik. Ternyata pagi tadi kenangan Pak Suwardi menerawang ke masa silam yang disyukuri. Sebagai orang desa di Kediri, apa yang dicapai di usia 70 tahun lebih ini sudah sebagai anugerah Tuhan. Kalau di kampung, mungkin waktu bisa dilewatkan dengan beternak atau bertani.
Pak Suwardi sungguh menjadi guru saya pagi ini. Membantu saya memahami arti bersyukur: menjalani hidup apa adanya, bukan ada apanya. Ia merasa di situasi aman dan nyaman, tapi tetap saja ingin mengisi waktu dengan hal baik. Ada rasa sungkan di tengah kebaikan keluarga. Semata karena anugerah Tuhan harus dihayati dengan laku baik. Setidaknya bisa berjumpa banyak orang dan gerak badan, di samping mendapatkan penghasilan.
Pak Suwardi menawari saya secangkir kopi. Saya menolak halus karena mau melanjutkan berolahraga. Sebagai tanda kasih, saya ulurkan sedikit rejeki. Beliau terima dengan suka hati sebagai tanda persahabatan. Kami berdiri, lalu saya minta ijin mengambil foto. Pak Suwardi menyambut girang. Saya jabat tangannya. Hangat bak doa pagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *