UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah diundangkan dan resmi berlaku. UU ini menandai babak baru perpajakan Indonesia, antara lain karena beberapa pengaturan yang memperkuat visi keadilan dan keseimbangan relasi hak dan kewajiban antara otoritas pajak dan wajib pajak. Sebaliknya, Pak Fuad Bawazier, Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan periode akhir Orde Baru, justru menyebut UU ini sebagai yang terburuk dan terjahat melalui artikel opini di Republika Online (https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/r28wj7385/telah-lahir-uu-terburuk-dan-terjahat-dalam-sejarah-indonesia). Tentu saya menghormati pendapat Pak Fuad selayaknya saya selalu menghormati senior dan sahabat. Mari kita telisik satu persatu secara jernih dan objektif.
Sebelum membantah opini Pak Fuad, kita dapat mengajukan beberapa catatan refleksi untuk dapat memberi penilaian objektif terhadap UU HPP. Pertama, UU ini mengatur pelebaran lapis terendah penghasilan kena pajak dari Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta. Artinya wajib pajak orang pribadi dengan penghasilan kena pajak Rp 60 juta setahun akan menikmati penghematan pajak sebesar Rp 1 juta. Jahat atau baik? Kedua, UU HPP memperkenalkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk WP Orang Pribadi UMKM sebesar Rp 500 juta setahun. Implikasinya, wajib pajak yang sama akan menghemat pajak sebesar Rp 2,5 juta setahun. Jahat atau mulia?
Ketiga, UU HPP mempertahankan Pasal 31E UU PPh sehingga WP Badan yang omsetnya tidak melebihi Rp 4,8 M dan tidak boleh lagi menggunakan skema PP23/2018 (tarif 0,5 persen final), cukup membayar pajak sebesar 11%, separo dari tarif umum 22%. Buruk atau baik? Keempat, UU HPP mengatur penggunaan NIK sebagai NPWP. Bukankah ini hal yang diidamkan sejak era Pak Fuad menjadi dirjen pajak dan tak kunjung terwujud? Selain mempermudah administrasi yang berimbas pada efisiensi, kebijakan ini juga akan mengoptimalkan kualitas layanan publik dan pengawasan. Kelima, diatur pula moderasi sanksi administrasi. Sanksi untuk wajib pajak yang kalah di keberatan turun dari 50% menjadi 30% dan 100% menjadi 60% untuk banding dan peninjauan kembali. Bukankah ini meringankan wajib pajak?
Betul bahwa ada pasal-pasal penguatan otoritas pajak, tetapi tetap dalam koridor transparansi dan akuntabilitas. Asistensi penagihan pajak global, penegasan prinsip ultimum remedium, kewenangan sita blokir aset dalam rangka penyidikan, penunjukan pemotong/pemungut pajak – bukankah ini sejalan dengan tuntutan banyak pihak bahwa penguatan otoritas merupakan prasyarat bagi pemungutan pajak yang efektif, termasuk mendongkrak rasio pajak yang cenderung turun? Untuk meneguhkan prinsip ability to pay (yang lebih mampu membayar lebih besar), diperkenalkan tarif tertinggi 35% atas penghasilan kena pajak di atas Rp 5 M setahun.
Tak berhenti di situ, UU HPP juga memperkenalkan Pajak Karbon sebagai jawaban dan ikhtiar kita untuk merespon isu perubahan
iklim secara lebih terang dan bertanggung jawab. Ide Pajak Karbon menandai babak baru komitmen Indonesia untuk terlibat aktif merawat bumi dan menjaga masa depan kehidupan. Bukan sekadar berhenti di pungutannya tetapi akselerasi yang dilakukan sehingga memungkinkan isu ini bergulir untuk dirumuskan dengan lebih matang.
Nah, mari masuk ke pokok persoalan yang digugat Pak Fuad Bawazier. Sesungguhnya yang dilontarkan Pak Fuad adalah tuduhan yang mengandung beberapa sesat pikir, sebagai akibat suka memelintir. Pertama red herring yaitu pengalihan isu. Pak Fuad sengaja menampik banyak hal baik yang saya sebutkan di atas dan pilih-pilih demi memenuhi hasrat membuktikan pemerintah keliru. Kedua strawman fallacy atau kekeliruan dengan menciptakan “manusia jerami/memedi sawah” sasaran kritik yang dibikin sendiri lalu dihajar untuk menunjukkan kesalahan pemerintah. Bahkan lebih parah lagi, cenderung mengandung sesat pikir post hoc ergo propter hoc, peristiwa A yang mendahului peristiwa B disimpulkan peristiwa B disebabkan oleh peristiwa A. Mari kita periksa!
Pak Fuad mengkritik perubahan pengaturan pengecualian barang dan jasa kena pajak di Pasal 4A UU PPN. UU HPP mengatur, pengecualian barang dan jasa kena pajak tersebut dihapus. Konsekuensinya semua barang dan jasa pada dasarnya barang kena pajak dan jasa kena pajak. Sejak awal dijelaskan tujuannya untuk penegasan PPN sebagai pajak atas konsumsi barang dan jasa serta integrasi administrasi karena pengecualian yang selama ini ada justru menjadi kanker ganas yang menggerogoti sistem PPN, demikian kata Maurice Laure, seorang pakar pajak. Untuk melindung kepentingan masyarakat berpenghasilan menengah-bawah dari beban pajak, terhadap barang dan jasa tertentu diberi fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN melalui Pasal 16B UU PPN yang memberi kewenangan pemerintah mengatur dengan PP. Ini yang dituding Pak Fuad sebagai hal yang buruk dan jahat karena pemerintah akan semena-mena terhadap rakyat dalam menentukan barang dan jasa yang dikenai pajak atau diberi fasilitas.
Tentu saja kritik Pak Fuad harus dicermati dan dijadikan pengingat agar hal tersebut tak terjadi. Mari menilik ke belakang. Waktu Pak Fuad Bawazier menjadi Dirjen Pajak, terjadi revisi UU PPN dengan UU No. 11/1994 yang mengatur pengecualian barang atau jasa yang tidak dikenakan pajak. Jenis barang dan jasa tersebut juga diatur melalui PP, yaitu PP No. 11/1994. Apakah pengaturan dengan PP ini semena-mena? Kesaksian saya atas era Pak Fuad: tidak! Berlanjut ke perubahan kedua UU PPN melalui UU No. 18/2000, barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak diatur lebih jelas di UU dan rinciannya diatur PP 144/2000. Apakah pengaturan dengan PP ini zolim? Tidak. Asbabun nuzul Pasal 16B untuk memfasilitasi penyerahan barang strategis sehingga mendukung tujuan tertentu, lahir di era Pak Fuad sebagai Dirjen Pajak. Pengaturan melalui PP pun menjadi praktik bertahun-tahun yang normal dan jauh dari tuduhan keji.
Melalui amandemen UUD 1945, pengaturan tentang pajak sebagai beban yang harus diputuskan bersama DPR pun diperkuat konstitusi. UU HPP pun memutuskan besaran tarif PPN yang naik secara bertahap. Bahkan ruang penyesuaian tarif PPN menjadi paling tinggi 15% dapat dilakukan dengan PP toh tak pernah diambil oleh pemerintah. Ini menandakan rezim perpajakan dari masa ke masa konsisten untuk berhati-hati dalam menentukan tarif pajak, meski pemerintah diberi kewenangan. Lantas kenapa kali ini Pak Fuad menuding pemerintah akan zolim?
Terakhir, Pak Fuad mengkritik kebijakan pengungkapan sukarela yang dianggap sebagai sebuah sikap cidro janji karena tax amnesty hanya akan diberikan satu kali. Saya tak berminat untuk debat kusir apakah Program Pengungkapan Sukarela (PPS) ini tax amnesty atau bukan. Mari tilik rumusan di UU HPP secara cermat. Jelas ada beberapa perbedaan fundamental. Kebijakan I memberi kesempatan bagi peserta tax amnesty 2016-7 untuk mengungkapkan harta yang dulu belum diungkap, dengan membayar pajak final sebesar 6%, 8%, atau 11%. Ini di atas tarif tebusan waktu itu 2%, 3%, dan 5%. Lalu bagi WP OP dapat mengungkapkan secara sukarela penghasilan yang diperoleh kurun 2016-2020 melalui pengungkapan harta dan dikenai tarif final 12%, 14%, dan 18%. Tarif direlaksasi namun tetap cukup tinggi mengingat situasi pandemi yang memberatkan keuangan wajib pajak.
Jika hendak adil, kita harus jujur fasilitas yang ditawarkan PPS tidak semenarik UU Pengampunan Pajak. Ini dilambari pertimbangan, kali ini DJP telah memiliki akses terhadap informasi sehingga punya kesempatan untuk melakukan penelusuran kebenaran laporan WP. Maka cukup pasti hanya mereka yang sungguh-sungguh ingin jujur terbuka dan patuh yang mau ikut program ini. Betul bahwa UU ini mengatur tentang perlindungan data dan informasi yang diungkap, hal yang sama diatur di UU Pengampunan Pajak. Apakah ini lantas meniadakan kewenangan melakukan tindak lanjut hukum? Tidak! Tidak ada impunitas dan imunitas karena yang dilindungi sebatas data dan informasi yang diungkap oleh WP dalam PPS ini. Hal yang standar dan amat wajar agar mencerminkan trust dan tidak dianggap ada jebakan. Jika terdapat data/informasi lain di luar pengungkapan ini maka tetap dapat dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Kiranya penjelasan ini cukup mendudukkan diskursus tentang UU HPP secara proporsional. Kritik, aspirasi, dan masukan dari semua pihak tentu amat penting bagi perbaikan dan kebaikan bersama. Namun tudingan yang insinuatif-tendensius dan berpotensi mendelegitimasi pemerintah wajib direspon secara lugas dan tegas. Tiada gading yang tak retak. UU HPP adalah anak zaman yang berusaha menjawab tantangan konkret yang ada saat ini sekaligus mengantisipasi masa depan.
Seraya memunggungi masa depan agar tetap awas pada pelajaran masa lalu, tak selayaknya kita terbelenggu glorifikasi masa lampau untuk maju, apalagi pesimis dan murung menatap masa depan. Tiap pemimpin punya zaman, tiap zaman punya pemimpinnya. Seraya terus menaruh hormat, mari bersatu berjuang meletakkan fondasi bagi esok yang gemilang, wujudkan mimpi Indonesia adil, makmur, sejahtera melalui pajak kita.
Yustinus Prastowo
Staf Khusus Menteri Keuangan