Pagi tadi saya disadarkan alam, saat hati berniat berolahraga tapi banyak daun pohon rambutan yang berguguran. Awalnya saya menggerutu, lalu tatapan mata tertuju pada sapu di sudut pekarangan. Segera saya raih dan menyapu hingga tuntas. Keringat deras mengucur, bahkan sebelum saya berolahraga. Nyatanya, itulah olahraga pagi tadi, sekaligus olah jiwa.
Kenapa? Saya menyapu sambil memandangi dedaunan yang gugur, kering dan layu. Sesekali saya pandang dua batang pohon rambutan yang rindang, memberi kesejukan selain buah manisnya, menemani kami sejak 2004 tinggal di kampung ini. Mungkin benar belaka: mau buahnya tak sudi sampahnya!
Daun yang gugur ini bukan kesia-siaan, ia bukan sampah. Ia bukan pecundang yang kalah, lalu mati tanpa arti. Justru ia gugur karena sang pohon harus menjalani siklus agar tetap abadi. Ia harus mengurangi daunnya agar tak terbebani terlampau berat, lalu limbung dan tumbang. Pengorbanan diri yang sejati, sarat makna dan inspirasi.
Pula, daun yang menguning dan kering ini bagian dari siklus alami, sabda alam. Justru gugurnya sang daun memungkinkan pohon terus meremajakan diri, tetap kokoh, segar, dan berbuah. Saya lantas terbayang pada begitu banyak kematian hari-hari ini, di kala pandemi, yang tampak sia-sia, padahal sejatinya penuh makna. Wabah bukan sekadar wabah, pasti ada hikmah bahkan mungkin berkah.
Layaknya daun yang gugur, manusia mati di masa pandemi ini. Kematiannya yang penuh makna, ia menjalani takdir seperti daun rambutan. Tiap kematian punya arti, bukan perkara statistik belaka. Sepintas kering sepi tak berguna, namun menyisakan makna yang amat dalam di relung batin.
Pada akhirnya hidup seperti Sisifus, yang menjalani takdirnya seolah seperti kesia-siaan, tetapi sejatinya ia memberi makna pada hidup, yakni totalitas menyambut takdir dengan penuh suka cita. Ia mungkin sangat tahu bahwa yang ia lakukan kecil kemungkinan berhasil, tapi itu tak mengurangi kesungguhan untuk melakukan yang terbaik.
Tentu saja tak ada yang ingin mati sia-sia. Dan memang tak ada yang sia-sia. Kematian di masa pandemi memang getir dan janggal, menyisakan tangis dan pedih tak terperi. Namun kita terus diajak merenungkan apa dan bagaimana hidup harus dilakoni. Kini mungkin saat yang tepat menanggalkan apa yang ideal, cita-cita muluk, terlampau jauh dan ndakik-ndakik. Saat ini tersedia begitu banyak ladang derma, karya amal, dan waktu untuk lebih memerhatikan sesama, sekitar, keluarga, dan diri kita. Kadang cukup melalui sapa dan sepotong doa.
Kita diajak mensyukuri kekinian, apa adanya, dalam banyak keterbatasan dan kungkungan. Kita jadi paham pentingnya mensyukuri sehat, tanpa perlu bermimpi berkelana ke ujung dunia. Bahkan menyadari kerapuhan kita saat oksigen pun langka atau obat-obatan tak terjangkau tangan, meski gelimang harta dan kemilau tahta dalam genggaman.
Mereka yang gugur bukan tumbal, tapi penanda sejarah, yang akan dikenang hingga ratusan bahkan ribuan tahun kemudian. Kisah perjuangan mereka adalah mozaik di halte perhentian sejarah yang sebelumnya berlari kencang. Rasa kehilangan pun bukan absurditas, tapi goresan perjuangan di palung kemanusiaan yang hakiki. Hidup dan mati layaknya arisan, kita menunggu giliran. Namun menunggu giliran pun bukan kesia-siaan. Sisifus membuktikan, dan kini kita terus mengenangnya.
Bekasi, 11 Juli 2021
Salam hangat
YP
Artikel yg bagus pak. Tp bagi pembaca awam seperti saya, tersisa tanya, Sisifus itu siapa?