Selamat sore teman2 sekalian. Selamat berbuka puasa.
Mengiringi waktu berbuka, saya ingin sedikit membahas tentang Perppu 1/2020 yang mulai hari ini disidangkan di Mahkamah Konstitusi. Mari diskusikan secara terbuka. Pro dan kontra hal yg amat wajar dan sehat di negara hukum demokratis ini.
1. Perppu 1/2020 dapat diunduh di sini https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176087/Perpu_Nomor_1_Tahun_2020.pdf Saat ini setidaknya ada 2 pemohon uji konstitusionalitas Perppu 1/2020 di MK. Saya mengapresiasi warga negara yang menggunakan hak konstitusional untuk menguji produk hukum supaya betul2 selaras dengan konstitusi dan prinsip.
2. Saya tak akan membahas materi pemohon secara rinci, tapi lebih membahas background, isi, dan intensi Perppu 1/2020 ini supaya kita punya pemahaman yang utuh. Sehingga, pro dan kontra menjadi berbobot karena dilandasi pemahaman yang komprehensif. Di poin ini, saya akan berbagi pandangan.
3. Seperti biasa, polemik seputar kegentingan memaksa, kedaruratan, dan argumen hukum lain sudah banyak. Prof @mohmahfudmd juga menulis di beberapa media soal ini. Putusan MK juga sudah cukup banyak. Maka saya akan fokus pada problem ekonomi, APBN, dan stabilitas sistem keuangan.
4. Beberapa pihak keberatan dengan Perppu 1/2020 ini, beberapa alasannya: 1) mengebiri kewenangan DPR; 2) merekayasa kedaruratan untuk niat jahat; 3) mengulangi sejarah penyelamatan krisis yang dilumuri moral hazard. Keberatan yang sah namun juga simplistik karena gagal memotret realitas empirik.
5. Utk memulai, ada baiknya kita awali dengan pertanyaan reflektif: apakah COVID-19 sungguh mengguncang dunia? Rasanya tak sulit menjawab. Mobilitas dunia terhenti, aktivitas ekonomi-sosial mandek, korban berjatuhan, penyebaran masif, dan semua meramal pertumbuhan ekonomi negatif.
6. Empat Lembaga memprediksi pertumbuhan ekonomi global sbb: -1,1% (JP Morgan), -2,2% (EIU), -1,9% (Fitch), -3,0% (IMF). Indonesia diprediksikan tumbuh antara -3,5% hingga 0,5%. Sungguh situasi yang tidak mudah, tapi musti dihadapi. Pelemahan tentu mendorong meningkatnya pengangguran.
7. Kita juga sudah merasakan tekanan yang cukup berat ke perekonomian. Nilai tukar rupiah sempat melemah cukup tajam, IHSG tertekan beberapa lama dan tertatih untuk pulih, penerimaan negara turun, dan harga komoditas utama juga turun. Lengkaplah tekanan terhadap perekonomian. Ini fakta.
8. Di saat bersamaan, asumsi & postur APBN yang dibuat mengasumsikan kondisi normal. COVID-19 semakin membutuhkan penanganan maksimal. Baik kesehatan, jaring pengaman sosial, maupun dunia usaha butuh pertolongan sekaligus. Sedangkan kaki tangan Pemerintah sudah terikat pada UU APBN.
9. Jika pilihannya segera ambil tindakan untuk menyelamatkan rakyat dan bangsa, maka langkah yang diambil inilah keputusan di situasi darurat. Lepas pro kontra. Semakin lama, akan terhambat. Yang kita punyai hanya waktu, jangan sampai semuanya makin buruk dan tak terkendali.
10. Karena itulah lahir Perppu 1/2020 sebagai landasan hukum bagi kebijakan penanganan COVID-19. Pasca Perppu, kita bergerak lebih cepat, sigap, dan responsif. Musti diakui Pemerintah di awal agak denial dan lamban, tetapi akhirnya cepat siuman, sadar, dan bekerja. Koordinasi & sinergi membaik.
11. Perppu 1/2020 memungkinkan Pemerintah, Pusat dan Daerah, bergerak cepat. Paradigmanya: cepat dan tepat. Efisien dan efektif. Transparan dan akuntabel. Itu pembacaan saya atas spirit Perppu. Ini mungkin kali pertama koordinasi berjalan cepat dan relatif bagus, di bawah COVID-19.
12. Perppu 1/2020 juga mengantisipasi cara berpikir: pandemi berdampak pd kesehatan > menimbulkan problem ekonomi > memicu problem sosial > mengguncang stabilitas sistem keuangan. Maka, Perppu ini membingkai hulu-muara, awal-akhir sebagi satu kesatuan nalar-tindakan. Saya uraikan ya…
13. Oh ya, sy melihat Perppu 1/2020 ini juga angin segar di tengah pandemi. Koordinasi otoritas fiskal dan moneter bagus, Daerah meski meradang di awal toh bisa memahami dan mendukung Pusat. Sinergi yang baik ini lalu menyemangati begitu banyak relaksasi kebijakan dan praktik lapangan.
14. Masuk ke substansi. Untuk menangani problem kesehatan dan ekonomi, kita terbelenggu ketentuan formal UU 17/2003 dan UU APBN, terutama ttg batas atas defisit APBN 3% dari PDB, dan prosedur perubahan UU APBN yang cukup berliku. Padahal kita butuh ruang lebih longgar untuk bernafas…
15. Belanja meningkat untuk pandemi dan stimulus ekonomi, tapi penerimaan cekak. Defisit APBN dipastikan melebar melebihi 3%. Pemerintah bisa dianggap melanggar UU. Lebih dari itu, dipastikan tak cukup uang membiayai ini semua. Inilah alasan kenapa ruang defisit diperlebar, di atas 3%.
16. Kenapa tak dibatasi? Bisa liar dong Pemerintah? Ada yg bilang ini ‘constitutional dictatorship’. Begini, bunuh diri aja Pemerintah main-main dengan defisit. Siapa yang mau menambal itu di tahun mendatang, apalagi jika sumber pembiayaan dari utang? Maka jelas: tata kelola musti baik.
17. Bisa dibayangkan kalau ini dibatasi dan ternyata melebar lagi? Kita akan terlalu sering mengubah aturan dan ini justru tidak efektif. Jangan khawatir, selain Pemerintah nggak bakal bunuh diri, pertanggungjawaban APBN juga tetap dilakukan. LKPP dibuat dan diaudit.
18. Tuduhan itu pun bisa dibantah dengan isi Perppu 1/2020 yang pertama-tama mengoptimalkan apa yang ada, yaitu refocusing (perubahan prioritas), realokasi (penggeseran belanja), penyesuaian besaran belanja, optimalisasi penggunaan SAL/dana abadi/dana BLU, termasuk pembiayaan dari utang.
19. Hasilnya, melalui Perpres 54/2020 Pemerintah melakukan perubahan postur APBN 2020. Target pendapatan disesuaikan agar realistis, efisiensi Rp190 T, realokasi belanja Rp54,6 T, tambahan belanja COVID-19 Rp255 T. Pembiayaan juga meningkat Rp545 T. Paket stimulus Rp405,1 T.
20. Secara kikir Rp405 T saya rinci: Rp75 T utk intervensi kesehatan, Rp110 T bansos, Rp70 T dukungan industri, Rp150 T program pemulihan ekonomi. Cukup? Belum tentu. Kadin bilang butuh Rp1600 T. Nah! Gimana mau nambah segitu tanpa ada Perppu 1/2020? Sampai di sini bisa dipahami ya…
21. Semua Pemda melalui Inpres 4/2020 dan Permendagri 20/2020 wajib melakukan refocusing dan realokasi. Saya mencatat sekitar Rp60 T mereka hemat dan alokasikan untuk health-social-economic ini. Luar biasa kan? Pernahkah terjadi gerakan sedemikian cepat dan serempak seperti ini?
22. Di samping itu, Perppu 1/2020 juga mengatur relaksasi administrasi perpajakan dan ekstensifikasi pajak melalui pengenaan pajak atas PMSE (platform digital). Ini selain demi fairness juga untuk menutup defisit penerimaan pajak. Jadi jangan dilihat Perppu 1/2020 ini dengan pikiran jorok belaka.
23. Lugasnya: benarkah Pemerintah semena-mena dan mengebiri kewenangan DPR? Tentu ini kewenangan MK dan DPR kelak. Akan tetapi, saya cuma mau bilang, Pasal 12 dan 13 Perppu 1/2020 cukup jelas. Perubahan postur atau rincian APBN melalui Perpres memang kontroversial, tapi silakan cek, tetap ada akuntabilitas.
24. Pasal 12 ayat 1 eksplisit mengatakan “tata kelola yg baik”. Pasal 13 mewajibkan pelaporan pelaksaan APBN dan program pemulihan ekonomi dalam LKPP (artinya diaudit BPK). Dan, Pasal 15 ayat 1-4 UU 17/2003 tentang hak DPR dalam membahas dan meminta pertanggungjawaban APBN tetap ada.
25. Saya percaya DPR dapat memaklumi ini, dan komunikasi dengan Komisi XI dan Banggar terus dilakukan. Ketika situasi normal dan tatib disesuaikan, sangat dimungkinkan Pemerintah dan DPR semakin erat untuk membahas APBN dan perubahannya secara terbuka. Jadi tak perlu dipertentangkan.
26. Soal KSSK saya tak akan bayak membahas, lain waktu. Intinya Perppu 1/2020 memperkuat peran anggota KSSK, termasuk BI, OJK, dan LPS supaya bisa lebih responsif mengantisipasi dampak ekonomi dan keuangan pandemi. BI dapat membeli SBN di pasar perdana sehingga menjamin ketersediaan dana Pemerintah.
27. Loncat ke pasal “imunitas”, yang dianggap jadi perisai untuk lolos dari jerat hukum sehingga para pejabat bisa menggangsir uang negara dengan leluasa. Sekali lagi, dalam alur Perppu 1/2020 yang amat mengedepankan good governance, pikiran seperti itu lebih sebagai pikiran ngeres dan kurang berdasar.
28. Jauh sebelum pasal “imunitas” di Perppu 1/2020, terdapat rumusan sejenis di UU 9/2016 dan UU 11/2016, bahkan lebih dahsyat. Tak jadi soal, tak gaduh. Diuji tapi teruji. Kenapa? Ya lantaran cara bacanya musti berangkat dari niat baik dan pikiran yang jernih dan hati yang bening.
29. Kita baca Pasal 27 ayat 1: biaya yg dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan Perppu ini merupakan biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis, bukan kerugian negara. Iyalah: stimulus, alokasi buat COVID-19, subsidi bunga KUR, UMi, bansos – mosok kerugian negara?
30. Nah, jika ada pelanggaran atau penyimpangan atas program2 ini, tentu saja itu tidak bebas dari proses hukum, khususnya tipikor. Perhatikan ayat 2: para pejabat atau pengambil keputusan tdk dapat dituntut pidana/perdata, syaratnya dilandasi ITIKAD BAIK. Jelas kan?
31. Jika ada niat jahat atau itikad tak baik, ya itu jelas tindakan melawan hukum yang dapat diproses lebih lanjut. Lalu, kenapa pasal ini musti ada? Ya buat jagain para pejabat agar berani ambil keputusan di saat penting dan genting ini. Memang ada trauma, maka butuh perlindungan.
32. Ini kan ada preseden, baik saat penyelamatan krisis 1998 dan krisis keuangan 2008. Juga kekhawatiran dipersoalkan di kemudian hari karena perbedaan penafsiran hukum atau irisan dengan dinamika politik. Intinya ya ini back up yang fair dan reasonable.
33. Akhirnya, itulah fakta tentang Perppu 1/2020. Semoga cukup benderang dan menjadi diskursus terbuka. Apapun, hingga saat ini banyak program yang bisa diambil dan langkah maju di bawah Perppu ini. Kita nantikan Putusan MK dan keputusan DPR. Semoga semua demi kebaikan bersama. Amin.