Seruan ‘Boikot Pajak’ Arief Poyuono: Noooo!!!

F.X. Arief Poyuono, Wakil Ketua Umum Gerindra, kembali bikin sensasi. Kali ini ia menyatakan bahwa pendukung Prabowo-Sandiaga tidak perlu mengakui pemerintahan hasil Pilpres 2019 yang menurutnya tidak legitimate, dan menyerukan boikot membayar pajak. Tentu saja ajakan ini selain konyol, juga berbahaya. Begini penjelasannya:

1. Legitimasi Pemilu bersandar pada pemenuhan kriteria dan prasyarat pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Jika terdapat sengketa, Pemilu memiliki prosedur penyelesaian sengketa yang diatur Undang-undang. Klaim terdapat kecurangan hanya akan berarti dan memiliki implikasi hukum jika diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan putusan MK membenarkan klaim tersebut. Tanpa mengikuti prosedur yang berlaku, berbagai klaim dan tuduhan tersebut hanya akan mendelegitimasi seluruh institusi formal kenegaraan, dan tak lebih dari ratapan kegalauan kontestan yang tak siap kalah.

2. Ajakan tidak mengakui pemerintahan yang sah hasil pemilu yang demokratis dan sah, memiliki konsekuensi dan risiko pelanggaran pada kewajiban dan tanggung jawab kewargaan. Sebagian pelanggaran tersebut bahkan memiliki konsekuensi hukum, termasuk pidana. Tidak membayar pajak padahal kita wajib membayarnya adalah pelanggaran Undang-undang Perpajakan. Perlu diingat bahwa pelanggaran ini melekat secara individual bagi tiap wajib pajak.

3. Boikot pajak tidak saja buruk secara moral tetapi juga merugikan kepentingan nasional, terutama merugikan sebagian besar rakyat Indonesia yang selama ini menikmati layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, subsidi, dana desa, dan lainnya. Belum lagi belanja infrastruktur, pertahanan, keamanan, birokrasi, dll. Dengan kata lain, ajakan memboikot pajak adalah ajakan memperburuk keadaan yang merugikan rakyat Indonesia.

4. Menurut literatur dan praktik terbaik, civil disobedience termasuk di dalamnya tidak membayar pajak hanya legitim secara moral jika pemerintah yang memungut pajak berperilaku korup, melanggar HAM, otoriter, dan tidak akuntabel. Ciri corak demikian dengan amat mudah dikenali tidak terdapat pada rezim pemerintahan pasca Orde Baru.

5. Dari perspektif kepatuhan pajak, saat ini kondisi kepatuhan pajak di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Masih terdapat banyak orang yang seharusnya membayar pajak, namun tidak membayar pajak sebagaimana mestinya. Tingkat penghindaran pajak pun masih tinggi. Dalam situasi seperti ini, ajakan memboikot pajak berarti memberi pembenaran pada perilaku mengemplang pajak dan sangat rawan ditunggangi para pengemplang pajak yang selama ini memang enggan membayar pajak. Artinya, ajakan memboikot bayar pajak ini tak lain kolaborasi hitam yang melebihi ajakan makar karena mengeroposkan fondasi negara dan menghancurkan modal sosial yang penting untuk keberlanjutan pembangunan.

Dengan demikian, ajakan atau seruan yang tidak bertanggung jawab ini sudah selayaknya tak ditanggapi dan dianggap lelucon saja. Selain tidak mendidik dan tak memiliki legitimasi moral, juga destruktif terhadap upaya pencapaian tujuan bernegara. Saya hanya bisa berprasangka baik, Saudara Arief Poyuono sudah memiliki NPWP dan lapor SPT, tanpa perlu berharap banyak pada berapa besar yang telah dia bayar.

Kita percaya sebagian besar rakyat Indonesia bisa berpikir waras dan bersikap fair. Perbedaan pilihan dan sikap politik tak harus berujung pada tindakan destruktif yang merugikan. Sebaliknya, siapa pun yang terpilih wajib membangun sistem perpajakan yang adil dan berkepastian hukum, meningkatkan penerimaan pajak, mengejar pengemplang, dan menggunakan uang pajak bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Meminjam Oliver Wendell Holmes, Jr, Hakim Agung AS yang termasyur, yang berkata: “Saya senang membayar pajak karena dengannya saya mengongkosi peradaban”, apakah mereka yang memboikot bayar pajak adalah mereka yang anti peradaban dan keadaban? Wallahualam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *